Arsip

Posts Tagged ‘Busana Muslim’

MENSIKAPI LARANGAN MEMAKAI ROK MINI

1 Oktober 2011 7 komentar

Statement yang keluar dari mulut seorang kepala daerah, berkaitan dengan kejadian perkosaan yang kian marak di Jakarta tersebut memang sempat mengundang pro-kontra. Hal senada juga pernah dilontarkan oleh seorang kepala daerah di Aceh, bahwa seorang wanita layak diperkosa jika tidak berbusana ‘tertutup’.

Kita tidak bisa menerima, bahwa jika kita tergoda oleh wanita yang berpakaian ‘merangsang’ itu hanyalah karena kelemahan kita sendiri, syahwat kita yang lemah dan tidak terkendali. Kita lebih suka mencari pembenaran dengan menyalahkan sesuatu yang diluar diri, bukannya berusaha ‘meredam’ dan ‘melenyapkan setan’ yang merajalela di dalam diri.

Para pemimpin kita saat inipun sudah sulit untuk bisa dijadikan panutan. Kata-kata tersebut tidaklah layak keluar dari mulut seorang yang menjadi panutan/pimpinan. Padahal, orang tua kita dulu pernah mengajarkan, bahwa seorang pemimpin harusnya bisa; hamong, hamot, hamengku, hamemangkat. Bisa jadi panutan, ngemong, kamot (bisa mendengar dan mengerti segala keluh kesah rakyatnya), bisa memilah-milah dan memberi ganjaran kepada yang layak mendapatkan ganjaran.

Seorang teman di jejaring sosial melontarkan gurauan kepada saya, “Yang membuat pria tergoda melihat wanita memakai rok mini adalah karena di dalam rok mini tersebut ada sebuah ‘taman mini’ …” 🙄 🙄 🙄

Gurauan tersebut tidaklah keliru. Selama ini kesadaran kita memang masih berada di seputar Janaloka, kesadaran badan, kesadaran rendahan. Sehingga kita begitu mentuhankan hal-hal yang bersifat badani. Nurani kita buta, batin kita tertutup. Kita belum bisa melihat kebenaran dibalik badan.

Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bangsa ini ?

Bangsa ini semakin lama mengalami kemunduran moral yang semakin memprihatinkan. Bangsa ini, yang dulu terkenal di seluruh dunia sebagai bangsa yang santun dan berbudi pekerti luhur, kini telah berubah menjadi sebuah bangsa neo Barbar. Ironisnya, sebagian bangsa ini tengah menggandrungi cara berpikir dan pola pikir jahiliyah tersebut.

Kita harus akui, kita telah salah dalam memandang dan menilai suatu permasalahan. Kita telah menempa diri dengan ilmu yang keliru, hingga akhirnya bertingkah laku yang keliru pula. Selama ini kita membiasakan diri menilai sesuatu dari apa yang “tampak” di permukaan, menilai sesuatu dari apa yang “tampak” menyenangkan, dan apa yang “tampak” tidak meyenangkan. Pada akhirnya, ketika sesuatu di luar diri itu merespons tindak-tanduk kita dengan hal-hal  yang “tampak” tidak menyenangkan, lalu kitapun berdalih, berkilah, mencari pembenaran atas tingkah laku kita untuk memuaskan ego kita sendiri.

Batin kita tertutup karena kita memang tidak pernah mengolah batin kita. Kita hanya terpaku pada ayat-ayat yang tertulis, jiwa kita terbelenggu, terpenjara. Kita bagaikan mayat berjalan, bagaikan robot yang tidak bergerak jika tidak ada perintah.

Padahal mestinya, ayat-ayat suci haruslah mencerahkan jiwa, membebaskan jiwa, bukannya malah menjerat jiwa. Kita belum terbiasa, atau bahkan takut menyelam sendiri, mendengar sendiri, sehingga kita bisa paham dan mengerti akan ayat-ayat suci-Nya. Kita lebih suka mendengar ‘cerita’ orang lain, membaca/mendengar ‘hasil’ penyelaman orang lain, lalu kita menelannya mentah-mentah tanpa kita selami sendiri dan kita buktikan kebenaran ‘kabar’ yang di bawa orang lain tersebut. Ironisnya, saat orang tua kita memaparkan hasil penyelamannya sendiri, kita justru menolaknya, menuduh yang tidak-tidak, karena apa yang diungkapkan oleh orang tua kita tersebut jauh berbeda dengan ‘kata/cerita’ orang lain yang selama ini kita pahami dan kita ugemi.

Kita belum paham, bahwa ayat suci-Nya setiap hari setiap saat senantiasa diperdengarkan oleh-Nya kepada kita. Tapi kita menutup diri, kita takut untuk mendengarnya sendiri, kita takut dengan pikiran kita sendiri, takut mendapat azab dari tuhan buatan pikiran kita sendiri. Pikiran kita mengatakan, bahwa Dia, sesudah menciptakan semua ini, lalu duduk ‘ongkang-ongkang’ tanpa pernah memperdengarkan ayat-ayat suci-Nya lagi.

Sudah saatnya kita memulai, sebelum segalanya menjadi lebih parah lagi. Meskipun terlambat, tidak ada salahnya kita memulainya dari sekarang. Sudah cukup lama kita mencoba segala hal yang selama ini kita pahami, saatnya mencoba sesuatu yang ‘baru’, jika kita ingin berubah menjadi lebih baik. Belajar dari apa yang telah berlalu, lalu jadikan masa lalu tersebut sebagai pijakan untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang.

Sumangga …..