Beranda > Serba Serbi, Uncategorized > JANGAN MEMAKSAKU TUK MEMILIH …

JANGAN MEMAKSAKU TUK MEMILIH …

Ini adalah sebuah kisah nyata dalam kehidupan di dunia ini. Kisah nyata seorang pria warga  Paguyuban Bima Nusantara, paguyuban kami di NTT ini …

Tanpa sengaja, saya menemukan tulisan ini pagi tadi. Begini isi tulisan tersebut ;

Kau masih juga tidak percaya ? Hehehe … aku memang tidak berkepentingan untuk membuatmu mempercayaiku. Hakmu untuk percaya ataupun tidak percaya. Aku, selalu dan selalu, hanya menyampaikan apa yang aku tahu. Apa yang aku lihat.

Kesalahanku yang pertama kali dan terbesar adalah kehamilanmu di luar pernikahan, hingga akhirnya membuat aku harus menyelesaikan apa yang telah ku mulai. Kehamilanmu itu, meluluh lantakkan cita-citaku yang ku idam-idamkan sejak kecil. Cita-citaku untuk menjadi seorang pandhita, seorang yang weruh sak durunge winarah, seorang yang waskitha

Bukannya aku menyalahkan dirimu atas kehamilanmu itu, tapi seperti yang telah kuungkapkan di atas, ITU ADALAH KESALAHAN PERTAMA DAN TERBESARKU semenjak aku mulai menekuni dunia Kejawen.

Aku benar-benar terpukul waktu itu. Aku, yang sejak kecil, sejak menekuni dunia Kejawen, di gadang-gadang keluargaku, di puji-puji sebagai seorang anak yang sudah berhasil nyecep ilmu dari guruku, di hormati dan di segani oleh keluarga besarku meski waktu itu aku masih tergolong sangat muda sekali, ternyata bisa juga melakukan kesalahan seperti kesalahan manusia/anak muda pada umumnya.

Sebenarnya aku bisa saja menuruti anjuran berbagai pihak untuk menggugurkan kandunganmu itu, apalagi orang tuaku seorang pejabat yang tentunya dalam hal harta, aku tidak dalam serba kekurangan. Namun itu bukan watakku, bukan sifatku. Seperti yang kamu tahu, waktu itu, membunuh seekor nyamukpun aku tidak mau dan bahkan belum pernah sekalipun aku melakukannya. Aku lebih suka membiarkan nyamuk tersebut menggigitku hingga benar-benar kenyang, kemudian mengusirnya dari badanku ini. Aku tidak mau menghilangkan kehidupan makhluk hidup lain, karena dalam pandanganku, itu bukanlah hakku. Jika seekor nyamukpun aku tidak mau membunuh, kamu tentu faham, kenapa aku tidak mau menerima anjuran untuk menggugurkan kandunganmu waktu itu.

Kejadian itu membuat ku di cemooh dan direndahkan berbagai kalangan dalam keluarga besarku. Namun aku tak pernah memperdulikan itu. Yang aku harus lakukan saat itu adalah menyelesaikan apa yang telah aku mulai.

Akhirnya kita menikah. Dan seperti yang kamu tahu tentang watakku, aku tidak mau kita ber KB, karena dalam pandanganku, KB itu membunuh benih, dan itu aku tidak mau. aku tidak mau menghilangkan kehidupan lain yang bukan merupakan wewenangku. Akhirnya, karena sifatku itu, kita berhubungan badan hanya jika memang kita menginginkan anak. Bukan seperti orang kebanyakan yang bebas leluasa berhubungan badan, setiap waktu, setiap saat.

Waktu itu usia kehamilanmu 3 bulan. Kamu masih ingat, apa yang terjadi waktu itu ? Waktu itu aku cerita kepadamu, ketika aku samadhi, aku mendengar suara di telingaku yang mengatakan, “ Ayooo, bethekan, aku lanang apa wedok, yooo “, dalam samadhiku aku tersenyum. Lalu aku menjawab suara itu begini, “ Saka suaramu wae wis ketara nek kowe kuwi wadon … “. Dan saat itu juga muncul sosok anak gadis lincah, berlari-lari di depanku sambil tertawa-tawa, yang kugambarkan wajahnya mirip dengan adik perempuanku.

Sekitar enam bulan kemudian, saat usia kandunganmu sembilan bulan, jabang bayi itu lahir, perempuan, anak pertama kita. Dia kini telah remaja, wajahnya mirip adik perempuanku, hingga aku sering keliru memanggil namanya dengan nama adikku. Dia lincah, bukan ? Dia ceria, bukan ? Dia persis seperti yang aku lihat dan aku sampaikan kepadamu waktu itu, ketika dia masih di dalam kandunganmu yang baru 3 bulan.

Karena waktu itu aku belum kerja, pakdhe menyuruh kita untuk ikut paklik di Jogja, hingga oleh paklik akhirnya kita di tempatkan di sebuah desa terpencil, daerah desa tertinggal yang sepi, untuk berjualan bensin eceran, solar, minyak tanah serta Oli.

Dua setengah bulan berlalu di Siluk Perengwetan, Bantul, di desa terpencil tersebut, tanpa ada uang masuk. Daganganpun tidak laku, karena memang daerah itu adalah daerah yang sepi. Kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, jarang lewat di depan rumah yang kita tempati. Truk kadang 1 dua ada yang lewat, tapi sekalipun tidak ada yang mau mampir beli solar di tempat jualan kita.

Kamu juga masih ingat ? Waktu itu kamu belum bisa bahasa Jawa, padahal di lingkungan situ tidak ada satu orangpun yang mahir berbahasa Indonesia. Kesemuanya berbahasa Jawa medhok. Komunikasi yang terjalin di antara kamu dengan warga sekitar jadi kelihatan lucu. Yang satu tidak bisa berbahasa Jawa, di lain pihak bisa berbahasa Indonesia tapi belepotan, campur-campur dengan bahasa Jawa. Maklum, orang-orang desa, dan lagi mereka tidak pernah sekolah.

Waktu itu kamu bilang tidak betah jika hidup seperti itu. Aku memakluminya, karena kamu adalah anak orang kaya. Dulu waktu kita belum menikah, babumu saja ada 2 orang, masih di tambah kacung 2 orang, lagi. Belum lagi satpamnya di kala malam hari. Sehingga, sangat bisa aku bayangkan, seperti apa kehidupanmu sebelum menikah denganku.

Akhirnya aku menjawab pernyataanmu tersebut, “ Beri aku waktu. Jika ternyata sampai awal bulan depan aku ternyata tidak mampu memberi kehidupan yang layak buatmu, tidak bisa nyari uang untuk mencukupi kebutuhan kita, apapun keinginan serta permintaanmu, pasti aku turuti. “ Kamu mengiyakan.

Awal bulannya kurang lebih sekitar 1 minggu lagi, namun tekadku sudah bulat. Akhirnya aku berangkat ke Gua Langse sore itu juga. Beruntung, hanya semalam aku disitu, siangnya aku bisa bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Waktu itu adalah pertama kalinya aku samadhi untuk meminta sesuatu. Aku tidak pernah samadhi untuk meminta sesuatu, bahkan minta kepada Tuhan sekalipun. Aku lebih suka memasrahkan segalanya ke tanganNYA, karena dalam pandanganku, apapun kehendak NYA, pastilah yang terbaik buatku.

Akhirnya siang itu juga aku pulang, karena Kanjeng Ratu sudah bersedia menemuiku dan mengabulkan permohonanku tanpa syarat apapun.

Ada kejadian aneh waktu itu, malam ketika aku di Gua Langse, tidak sedikit warga kampung di tempat yang kita tinggali, merasa melihat aku berada di mana-mana dalam waktu yang bersamaan. Demikian juga dirimu, kamu merasa jengkel karena malam itu, katamu, kamu melihat aku telah mengganggumu dengan cara meniup-niup telingamu. Padahal kamu tahu sendiri kan, bahwa aku malam itu tidak berada di rumah ? malam itu aku masih di Gua Langse …

Awal bulan yang aku janjikan, bisa aku tepati. Usaha kita lancar sekali. Kios bensin kita ramai hingga kita kewalahan. Bahkan kita justru menetapkan hari sabtu dan minggu sebagai hari libur kita untuk pergi melepas lelah. Piknik, atau pulang ke Semarang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, anaknya paklik menginginkan tempat tersebut untuk dia menjalankan usahanya, sehingga akhirnya akupun mengalah dan mengajakmu untuk pulang ke Semarang, mencari kerjaan baru di Semarang …

Ketika d Siluk, kita sempat sekali berhubungan badan, waktu itu anak pertama kita baru berumur 3 bulan, aku tidak kuasa menahan hasrat untuk mengajakmu berhubungan badan kala itu. Dan kamupun juga menyambut baik keinginanku tersebut. Satu hal yang wajar, karena kita sudah cukup lama ‘berpuasa’.

Hal yang tidak terduga terjadi. Hanya sekali itu kita berhubungan, dan waktu itupun kamu juga masih dalam masa menyusui bayi pertama kita yang baru berusia 3 bulan, kamu hamil untuk yang ke dua kalinya.

Kamu juga masih ingat ? Waktu itu hampir setiap orang yang melihat bentuk perut, kegemaranmu kala hamil, serta melihat raut wajahmu, bilang bahwa bayi dalam kandunganmu adalah laki-laki. Namun aku senantiasa meyakinkanmu, bahwa bayi itu adalah perempuan. Seperti apa yang juga telah aku lihat di alam samadhi.

Akhirnya dia lahir juga dengan selamat, meski dalam kondisi kita yang serba kekurangan, karena waktu itu aku masih menganggur. Belum dapat kerjaan lagi sejak kita pulang dari Siluk. Dia adalah anak ke dua kita, perempuan juga, seperti yang telah aku katakan. Diapun kini juga telah remaja, cantik, seperti yang telah kamu lihat selama ini.

Keadaan semakin menghimpit, aku masih juga menganggur. Padahal anak kita sudah dua.

Kamu masih ingat tidak, setelah kita ‘puasa’ selama kurang lebih satu tahun, lagi-lagi kita berhubungan badan. Dan lagi-lagi kamu hamil sebagai hasil dari hubungan badan tersebut. Mengherankan … Entah kamu yang terlalu subur, atau benihku yang terlalu ‘galak’, sehingga, hanya sekali saja berhubungan badan, selalu ‘jadi’.

Waktu itu kita sering bercanda, bahwa kita adalah pasangan yang paling aneh di dunia. Dengan tiga orang anak, kita bahkan belum genap sepuluh kali berhubungan badan jika dihitung dari pertama kali menikah. Bagiku, justru kamulah wanita yang aneh. Kok ada seorang istri yang betah dengan laki-laki sepertiku. Laki-laki yang tidak seperti suami pada umumnya, yang senantiasa bergairah untuk menggauli istrinya dari pertama kali menikah ….. Mestinya, setelah sekian tahun usia pernikahan, kita sudah puluhan atau mungkin ratusan kali berhubungan badan. Tapi kamu memang wanita luar biasa pengertian, kamu bisa dan mau memahami, bahwa aku adalah seorang laki-laki yang ‘tidak biasa’, seorang laki-laki yang senang bertapa, seorang laki-laki yang sanggup mengendalikan segala hawa nafsunya …

Kehamilan kamu yang ke tiga tersebut melahirkan anak laki-laki. Seperti yang telah kita harapkan. Tuhan mengabulkan permohonan kita. Waktu itu kita sepakat untuk tidak menambah ‘anak’ lagi. Anak laki-laki itupun kini juga telah besar, ganteng seperti bapaknya, bukan ? Hehehe …

Kita terlibat diskusi yang menegangkan saat kamu ingin ikut KB, agar tidak menambah anak lagi. Seperti yang kamu tahu, aku paling anti dengan yang namanya KB, karena dalam pandanganku  itu sama saja dengan membunuh benih.

Tahu tidak, saat itu ada pertentangan hebat dalam diriku. Di satu sisi, aku sebagai suami harus bisa memenuhi kebutuhanmu, lahir maupun batin. Namun di sisi lain, aku tidak mau membunuh benih. Akhirnya, aku menerima usulmu, dengan pertimbangan, aku memang harus menyelesaikan apa yang telah aku mulai.

Akhirnya kamu ikut KB suntik. Kurang lebih tujuh tahun berlalu dengan aman-aman saja. Hingga suatu malam, aku kaget dan bertanya kepadamu,

“ kamu hamil lagi, ya ?”

“Enggak, ah ! Aku kan KB ! ” jawabmu. “ memang kenapa, toh ?” tanyamu.

“ Aku ‘melihat’ kamu hamil lagi, seorang anak laki-laki. Cobalah, besok kamu periksa ke dokter … “ kataku.

Kamu tidak segera menuruti kata-kataku waktu itu. Pertimbanganmu, kamu masih aktif ikut KB, sehingga mustahil jika sampai hamil. Hingga bulan depannya, kamu merasakan ada yang ‘aneh’ dalam dirimu dan memaksamu untuk memeriksakan kandunganmu ke dokter. Dan kamu dinyatakan positif hamil dua bulan.

Dia adalah anak ke empat kita, tidak kalah ganteng dengan yang nomer 3. Anaknya keras dan temperamen, aku lihat kamu sering gemes dengan tingkah laku anak itu.

Demikian juga dengan anak kita yang ke lima, perempuan, itupun lahir juga ‘tanpa kita duga’, dalam artian, kamu dalam posisi ikut KB. Mengherankan, memang … Apanya yang salah, ya, sudah ikut KB koq masih ‘jadi’ juga ?!

Oh iya, saat anak ke 4 kita lahir, nampaknya membawa perubahan besar dalam hidup kita. Saat itu kerjaan ku lancar. Kita semakin jaya waktu itu. Tidak ada sesuatu barangpun yang tidak mampu kita beli. Kita mampu beli. Akupun akhirnya juga berkesempatan untuk merealisasikan keinginanku untuk membantu orang-orang atau keluarga yang kekurangan dan membutuhkan uluran tangan.

Apa saja kita punya. Mobil mewah, sepeda motor 2 buah, rumah mewah dan megah dimana setiap ruangannya ber AC. Sungguh, saat itu aku melihat kebahagiaan terpancar dari wajahmu. Aku tak pernah melupakan saat-saat itu. Aku tidak bisa melupakan rona bahagiamu waktu itu. Kamu terlihat bangga sekali denganku. Kamu juga terlihat semakin pede di mana saja. Kemana-mana, kamu selalu menggandeng tanganku. Satu hal yang sudah lama tidak kamu lakukan … Iya, kalau tidak salah, terakhir kita bergandengan waktu kita masih pacaran. Itupun juga jarang-jarang, karena kita ber dua memang pasangan yang ‘aneh’ ….. Aku pun sangat bahagia, juga bangga, dalam usia itu, kita bergandengan dan semakin mesra, melebihi anak-anak muda  …

Aku jadi lupa diri, aku terlena. Aku lantas berlagak bak bos besar yang hanya mau ongkang-ongkang di rumah dan tinggal terima ‘setoran’. Hal tersebut akhirnya menghempaskanku. Usahaku bangrut, karena tidak pernah aku awasi dengan baik. Padahal belum lama kita mereguk kebahagiaan tersebut …

Baru beberapa minggu masa kebangkrutanku, aku mendapat ‘penglihatan’ bahwa kamu tengah ada hubungan ‘khusus’ dengan pria lain. Aku mengenalnya. Laki-laki itu adalah teman kuliahmu dulu. Yang mengherankan, dulu ketika kamu kuliah, kamu tidak pernah mau menerima cintanya, meski sekeras apapun laki-laki itu berusaha. Laki-laki itu tidaklah ganteng, sungguh, bukannya aku menilai diriku terlalu tinggi. Dia berkulit hitam, ada tahi lalat besar di wajahnya. Tidak ada yang istimewa dari dirinya dalam pandanganku (terbukti selama kuliah memang tidak ada gadis-gadis kampus yang mau dengannya). Itulah yang mengherankan. Apalgi posisi dia juga sudah beranak istri. Menghidupi anak istrinya sendiripun juga dia masih keteteran. Apa yang kamu harapkan dari dia ? aku sering bertanya-tanya waktu itu.

Kamu mengelak ketika aku ungkapkan ‘penglihatan’ ku tersebut. Kamu menyangkalnya dengan keras. Kamu membantah segala ucapanku. Namun aku katakan padamu waktu itu, “Memang ini hanyalah ‘penglihatan’ ku dari alam samadhi, tapi selama ini, penglihatanku tersebut tergolong cukup ‘awas’. Aku akan membuktikan kepadamu, bahwa ‘penglihatanku ini benar …”. kamupun menantangku untuk membuktikannya waktu itu.

Tidak lama setelah itu, dengan bantuan seorang teman, aku dapat membuktikannya melalui sms-sms kalian. Kamupun tidak bisa mengelak lagi.

“ Aku tidak akan mengikatmu. Dari dulu seperti itu komitmenku. Semua terserah padamu, karena itu adalah kebahagiaanmu … Kamu tinggal katakan kepadaku ‘ Mas, aku sudah bosan hidup denganmu, jadi lebih baik kita berpisah’. Itu saja sudah cukup untuk membuatku undur diri. Namun jika kamu masih mau hidup bersamaku, akupun tidak masalah, karena kamu adalah istriku. Ibu dari anak-anakku … “ kataku.

“ Jangan-jangan kelak mas akan mengungkit-ungkit hal ini untuk memojokkanku. Aku tidak mau jika hal itu terjadi “, katamu.

Saat itu juga aku meyakinkanmu, bahwa bukan watakku untuk mengungkit-ungkit hal buruk yang telah berlalu. Kamu sendiri cukup mengenal watakku. Aku bukan laki-laki seperti itu, apalagi mendendam dan gantian berselingkuh. Itu mustahil ! Ya, mustahil, karena sejak kecil aku telah bersumpah, bahwa aku hanya ingin berpacaran dengan satu wanita, menikah dengan satu wanita yang sama, berhubungan badan dengan satu wanita yang sama pula yaitu wanita yang aku pacari tersebut. Dan hingga kinipun sumpah tersebut masih terjaga. Aku akan senantiasa berusaha keras memenuhi sumpahku itu.

Akhirnya kita kembali hidup bersama, merintis lagi dari awal. Lebih sulit memang, karena kondisi kita saat itu bener-bener habis-habisan, semua kita jual untuk membayar hutang-hutangku. Kondisi kita bukan hanya dari nol, tapi dari minus, malahan …..

Beberapa bulan yang lalu, aku sudah mengingatkanmu akan hal ini, namun tampaknya kamu lupa. Laki-laki itu hanyalah manis di muka. Dia bermuka dua, di depanku dia omong lain, di depanmu dia omong lain. Dia seperti mengadu domba antara kita ber dua. Namun, lagi lagi, kamu mengelak dan menyangkalnya.

Ulang-ulang aku katakan kepadamu, tanpa bosan  aku senantiasa katakan, pria tersebut jangan di kasih hati, nanti dia ngelunjak. Di kasih hati, dia akan minta jantung, dan seterusnya.

Dia hanyalah menginginkanmu. Namun kamu menyangkalku dan menyangkalku terus waktu itu. Kamu bilang tidak mungkin kamu jatuh hati pada laki-laki itu (kebetulan, lagi-lagi laki-laki tersebut tidak ganteng, kulitnya hitam, dan umurnya sudah tua), kamu bilang kamu hanya menganggapnya sebagai ayahnya.

Kamu berpandangan dia hanyalah laki-laki yang punya ‘kelainan’ yang tengah butuh bantuan. Namun ‘pandangan’ku mengatakan lain.

Pandangan ku, lagi lagi terbukti benar. Kamis malam kemarin, tanggal 13 januari 2011, ‘pandangan’ ku semakin nyata. Apalagi melihat kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini, kamu malah seolah berusaha mempererat hubungan mu beserta anak-anakku dengan pria tersebut. Satu hal yang dari awal sangat-sangat aku tentang, mengingat aku mempunyai pandangan negatif tentang pria tersebut.

Kalau kamu merasa, sejak pagi aku selalu menyindir kamu dengan kata-kata, yang dalam ‘penglihatan’ ku, telah kamu ucapkan kepada pria tersebut. Namun tampaknya kamu cuek, seperti tidak terjadi sesuatu apapun.

Aku tahu, kondisi kita saat ini lagi susah. Selama beberapa bulan ini, kamu yang nyari dhuwit buat hidup kita sama anak-anak. Aku belum dapat kerjaan. Aku pengangguran. Aku merasa bagai laki-laki tak berguna. Bahkan sebagai seorang ayahpun aku juga tidak berguna. Apalagi jika di bandingkan dengan pria tersebut. Dia tampaknya serba berkecukupan. Mungkin malah berlebih.

Aku memutuskan untuk tidak memberitahukan penglihatanku tersebut kepadamu, karena menurut pendapatku, percuma saja. Paling seperti biasanya, kamu tidak mau mendengar serta tidak menggubrisnya.

Sekitar jam 10.00 WITA, jumat tanggal 14 januari 2011, aku mencoba melihat daftar ‘absen’ ku di ‘sana’. Aaaah … Namaku belum juga di coret, padahal aku sudah jenuh berada di sini. Aku ingin segera ‘pulang’, namun aku terbentur dengan namaku yang belum di coret tersebut.

Kemudian, dalam samadhi aku memohon kepadanya ;

“ Gusti, matur nuwun sanget, dumugi sepriki kula sampun Paduka paringi gesang lan kanugrahan saged meruhi sedaya ingkang dereng kedadosan. Kula ugi matur nuwun sanget, bilih lampah kula kawit rumiyin dumugi sepriki tansah Paduka ayomi saking sedaya bebaya. Nanging, nyuwun gunging pangapunten Gusti, kula rumaos sampun mboten wonten ginanipun malih gesang wonten ing alam donya menika. Dados tiyang jaler, kula mboten saged nyekapi kabetahanipun kaluwarga kula. Kula kados dene tiyang jaler ingkang tan migunani kangge keluwarga kula piyambak. Kula suwun kanthi sanget, dhuh Gustiiii …, kersa a Paduka mundhut kula sakmenika ugi, Gusti, kula sampun kepengin enggal-enggal ‘wangsul’ ….. “

Baru saja mingkem anggonku nyenyuwun, tiba-tiba terdengar suara angin yang sangat deras (belakangan aku baru tahu bahwa angin tersebut adalah angin puting beliung). Rumahku bergoncang keras, namun tidak terjadi apapun. Aku segera keluar kamar, di luar aku lihat kamu tampak panik dan ngeri melihat kejadian itu. Almari tempatku berjualan terlempar dan kacanya pecah. Pohon-pohon besar pada tumbang. Belasan rumah di sekitarku rusak parah, ada yang terangkat atapnya, ada yang tercabut dan terlempar pagarnya. Aku lihat bahkan ada tiyang listrik yang tercabut dari tempatnya dan terlempar terbang hingga belasan meter. Aku keluar rumah, aku sudah siap, jika memang harus di pundhut saat itu juga. Aku tersenyum menyambut semua itu. Namun hal itu tidak terjadi. Sekitar beberapa menit kemudian angin tersebut reda setelah memporak porandakan rumah di sekitarku. Aku tidak tahu, apakah angin tersebut datang karena panyuwunku yang ngayawara tadi, atau memang kebetulan pas waktu itu saat datangnya musibah. Namun yang pasti, rumahku tidak kurang suatu apapun, hanya almari tempat ku jualan yang terlempar dan kacanya pecah semua …

Tadi malam, sekitar jam 22.00 WITA, aku mencoba mengajakmu bicara baik-baik. Sekali lagi aku mengatakan kepadamu apa yang telah aku ‘lihat’. Aku katakan kepadamu ;

“ Tolong, jika kamu memang masih menganggap aku suamimu, jaga dan hargai perasaanku. Namun, jika memang kamu sudah tidak mau hidup denganku lagi, katakan saja terus terang, aku pasti tidak akan nggondheli. Aku selalu membebaskanmu, demi kebahagiaanmu sendiri. Namun sekali lagi tolong, katakan saja terus terang, jangan sembunyi-sembunyi seperti ini. Hanya sebelumnya aku mohon maaf  yang sebesar-besarnya, hingga saat ini aku masih belum bisa membahagiakanmu. Semoga kelak aku masih di beri kesempatan untuk membahagiakanmu … “

Kamu hanya diam, tidak berkata sepatah katapun.

Dari tadi malam aku tidak tidur. Aku memandangimu yang tengah tidur di samping ragil kita. Aku masih menunggu jawabanmu. Aku menunggu pilihanmu. Ku mohon, jangan biarkan aku yang memilih, jangan paksa aku untuk memilih ….

 

Tulisan ini saya tulis ulang sesuai dengan aslinya, tanpa ada yang saya tambahi atau saya kurangi. Meski dengan berat hati, si empunya tulisan akhirnya mengijinkan saya untuk share tulisan ini di blog …

 

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar