Beranda > Falsafah Jawa > BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN VII

BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN VII

Bapak : Wis, dimulai lagi ya, ndhuuk … Ini pupuh2 yg selanjutnya …

 

22) Lowung kalamun tinimbang, / Ngaurip tanpa prihatin, / Nanging ta ing jaman mangkya, / Pra mudha kang den karemi, / Manulad nelad Nabi, / Nayakengrat Gusti Rasul, / Anggung ginawe umbag, / Saben seba mampir masjid, / Ngajab ajab mukjijad tibaning drajad.

(Masih lumayan bila dibandingkan, / (dengan) orang yang hidup tanpa prihatin, / Sayang sekali di zaman ini, / yang digemari orang-orang muda, / meniru Nabi, / Utusan Allah (Rasul), / sekadar untuk menyombongkan diri, / Setiap kali datang ke masjid, / mengharapkan mukjizat naik pangkat)

23) Anggung anggubel sarengat, / Saringane tan den wruhi, / Dalil dalaning ijemak, / Kiyase nora mikani, / Ketungkul mungkul sami, / Bengkrakan mring mesjid agung, / Kalamun maca kutbah, / Lelagone Dandanggendis, / Swara arum ngumandhang cengkok palaran.

(Hanya memahami soal kulit saja, / Tetapi inti pokoknya tidak dipahami, / Pengetahuan mengenai tafsir (dan aturan-aturan serta teladannya), / tidaklah dimengerti, / Mereka hanya terlena, / bertindak berlebihan saat berada di masjid agung, / Bila membaca khotbah, / berirama Dandanggula, / Suara merdu bergema gaya palaran).

 

Di sini Mangkunegara IV sekali lg menegaskan ttg hidup prihatin. Setiap saat, setiap waktu. Tdk ada batasan, satu hari, dua hari, satu bulan dua bulan, satu thn dua thn. Tdk. Tp senantiasa hidup prihatin. Ya tapa ngrame itu tadi. Yg dimaksud dgn tapa ngrame adlh tapa, namun masih ttp beraktifitas seperti biasanya dan tnp seorgpun mengetahui bhw kita tengah bertapa/berpuasa. Bukannya malah di pamer2kan, ndhuk, jg bukannya trs raut mukanya di buat lemah/lesu spy org lain tahu bhw kita tengah berpuasa dlsb. Jg bukannya memaksa org lain spy mengerti bhw kita tengah berpuasa jd jgn makan di depan kita atau mungkin memarahi wrg makan yg ttp buka di dekat rumah kita dlsb …

Di pupuh ini di tegaskan, bahwa hal tsb, hidup prihatin itu (yg dilakukan oleh Panmebahan Senopati) masih lebih bagus, drpd hidupnya org2 yg tdk pernah hidup prihatin. Spt yg dilakukan anak muda-anak muda jaman sekarang, yg di gemari malah meniru2 Rasul bahkan malah menyombongkan diri.

Tiap saat saba mesjid, tiap wkt saba mesjid, bengkrakanpencilakan di masjid,ngajab2 mukjizat. Nggak bisa itu, ndhuuk …

Yang namanya <span>sembahyang</span>menyembah kpd Hyang, itu bukan fisiknya yg menyembah, namun bathinnya. Mknya di sini di katakan hal tsb hny ngajab2 mukjizat …

Bacaannya sj kalau di dengarkan mmg enak dan indah di telinga, namun hny kulitnya saja, isinya tdk tahu …

Putrinya : Wah, bapak ini … Tegas, ik ! Hehehe … Mhn maaf, sebelumnya bpk, namun kalau spt itu, bukankah itu berarti tdk karyenaktyasing sasami bapak ? Mhn maaf sebelumnya lho, bapak, jgn marah ya, soalnya telingaku koq agak risih mendengarnya …

Bapak : Utk pertanyaanmu, bpk jwb setelah pupuh ini. Coba dengarkan ;

 

24) Lamun sira paksa mulad, / Tuladhaning Kangjeng Nabi, / O, ngger kadohan panjangkah, / Wateke tan betah kaki, / Rehne ta sira Jawi, / Sathithik bae wus cukup, / Aywa guru aleman, / Nelad kas ngepleki pekih, / Lamun pengkuh pangangkah yekti karamat.

(Bila kamu bertekad meneladani, / tindak tanduk Kanjeng Nabi, / Oh, nak terlalu muluk/jauh  langkahmu, / Biasanya takkan mampu/bisa, nak, / Karena kamu orang Jawa, / Sedikit saja sudah cukup, / Jangan hanya mencari pujian, / Berhasrat meniru Fakih, / Asalkan kuat saja tekadmu, pasti akan mendptkan rahmat).

25) Nanging enak ngupa boga, / Rehne ta tinitah langip, / Apata suwiteng Nata, / Tani tanapi agrami, / Mangkono mungguh mami, / Padune wong dahat cubluk, / Durung wruh cara Arab, / Jawaku bae tan ngenting, / Parandene paripaksa mulang putra.

(Tetapi lebih baik mencari nafkah, / Karena hidup miskin, / Atau mengabdi pd raja, / bertani atau berdagang, / Begitu menurut pendapatku, / namanya jg orang yang bodoh, / belum memahami cara Arab, / Sedang pengetahuan Jawa saya saja belumlah memadai, / Meski begitu memaksa diri mendidik anak).

 

Skrg bapak jwb pertanyaanmu, ndhuk …

Yg pertama, krn kamu anaknya bapak. Bapakmu ini org Jawa, leluhurmu jg org Jawa tulen. Oleh krn itu kewajiban bapak utk mendidik kamu sebagai orang Jawa tulen. Bukan orang Jawa jawa nan. Leluhurmu begitu mulia, spt yg digambarkan oleh Mangkunegara IV ini. Buat apa mencontoh leluhur yg tdk kita kenal dan tidak pernah kita tahu labuh labetnya buat bangsa dan negara ini ?

Contohlah Panembahan Senapati, yg sdh nyata2 terbukti hebat dan terbuktilabuh labetnya hg kini. Bukan hanya katanya kiyai atau siapa … Di sini kamu juga di ajarkan utk menemukan kebenaran itu sendiri, jd fair, tdk hanya sekedar omong doang, kamu bisa buktikan sendiri kebenarannya … Kamu coba baca serat Dharmogandhul, begitu hebat leluhur2 kita, begitu baik dan mulia, namun akhirnya malah di khianati …

Makanya di sini di katakan, rehne ta sira jawi, berhubung kamu ini jawa, sethithik wae cukup lah, aja ngguru aleman … Dan di tegaskan pula, bhw lebih baik golek pangan (drpd meneladani Nabi), mengabdi kpd raja, bertani atau berdagang …

Pelajari ngelmu kang nyata, maka kamu akan smkn jelas akan ajaran2 luhur yg di maksud oleh Mangkunegara IV ini …

Mengerti, ndhuk ?

Putrinya : Tp kan wejangan bapak ini di tulis di laptop jg, nnt kalau ada org lain yg baca kan gimana, bapak ? Kalau ada yg tersinggung, bgmn ?

Bapak : Lhoh ?! Koq tersinggung ? Haknya bapak dong, mau bgmn harus ngajarin anak … Kalau ternyata kemudian ada yg baca dan gak senang, ya itu juga haknya mrk yg gak senang, bapak gak bisa maksa mrk utk mengikuti ajaran Wedhatama ini, namun demikian jg jgn menghalangi haknya bapak ttg bgmn hrsnya mendidik anak.

Kalau gak suka ya gak usah di baca … Gak usah kasih jempol … apalagi komentar … Gitu aja koq repot …

Putrinya : Heheheh … iya, bapak …

Bapak : Nah, ini lanjutannya …

 

26) Saking duk maksih taruna, / Sadhela wus anglakoni, / Aberag marang agama, / Maguru anggering kaji, / Sawadine tyas mami, / Banget wedine ing mbesuk / Pranatan ngakir jaman / Tan tutug kaselak ngabdi, / Nora kober sembahyang gya tinimbalan.

(Ketika masih muda, / Pernah juga mempelajari meski hny sebentar, / Mendalami agama, / berguru aturan2 haji, / Sesungguhnya di dalam hati, / karena sangat takut akan hari esok, / Tentang akhir zaman, / Belum selesai berguru, terhenti karena harus mengabdi, / Tak sempat sembahyang, sudah dipanggil menghadap).

27) Marang ingkang asung pangan, / Yen kasuwen den dukani, / Abubrah bawur tyas ingwang, / Lir kiyamat saben ari, / Bot Allah apa Gusti, / Tambuh tambuh solahingsun, / Lawas lawas nggraita, / Rehne ta suta priyayi, / Yen mamriha dadi kaum temah nistha.

(Oleh yang memberi makan, / Bila kelamaan dimarahi, / Gundah gulana hati saya, / Bagai kiamat setiap hari, / Berat Allah atau Gusti, / Semakin bingung saya, / Setelah berpikir sekian lama, / Karena anak bangsawan, / apabila berhasrat menjadi kaum (santri) kurang pada tempatnya).

28) Tuwin ketip suragama, / Pan ingsun nora winaris, / Angur baya ngantepana, / Pranatan wajibing urip, / Lampahan angluluri, / Kuna kumunanira, / Kongsi tumekeng samangkin, / Kikisane tan lyan amung ngupa boga.

(Ataukah ingin menjadi khatib, / hal itu bukan bidangku, / Lebih baik berpegang teguh, / pada tata aturan kehidupan, / Menjalankan serta mengikuti jejak para leluhur, / di masa lampau hingga kini, / Akhirnya tak lain hanyalah mencari nafkah).

 

Disini lagi2 ditegaskan oleh Mangkunegara IV, bahwa lebih baik mengikuti ajaran leluhur. Tdk sepantasnya kita mengikuti ajaran mereka yg jelas2 tdk cocok dengan bangsa kita  …

Pupuh selanjutnya ;

 

29) Bonggan kan tan merlokena, / Mungguh ugering ngaurip, / Uripe lan tri prakara, / Wirya, arta tri winasis, / Kalamun kongsi sepi, / Saka wilangan tetelu, / Telas tilasing janma, / Aji godhong jati aking, / Temah papa papariman ngulandara.

(Salah sendiri yang tidak peduli, / terhadap landasan hidup, / Hidup berlandaskan tiga hal, / Kekuasaan, kekayaan dan kepandaian, / Bila tidak memiliki, / satu di antara ketiganya, / tiada arti lagi sebagai manusia, / Masih berharga daun jati kering, / Akhirnya menjadi peminta-minta dan gelandangan).

 

Tiga hal yg diungkapkan disini, wirya, arta dan winasis, penjabarannya begini, ndhuk :

Orang yg punya kuasa/kekuasaan (Wirya), tentu akan mudah utk mencari harta (arta) dan kepandaian (wasis). Atau orang yg mempunyai kekayaan (Arta), tentu juga tdk akan kesulitan utk mendapatkan kekuasaan dan kepandaian, demikian juga orang yg hanya memiliki kepandaian (winasis) tentu juga tdk akan kesulitan utk mendapatkan kekuasaan dan harta.

Oleh karenanya, Mangkunegara IV mengatakan, jk kita tdk pny salah satupun dari 3 hal di atas, kita sdh tdk ada lagi gunanya, bahkan masih lebih berguna daun jati kering (Jmn dulu daun jati kering masih berharga, diantaranya dipakai utk membungkus segala macam).

30) Kang wus waspada ing patrap, / Manganyut ayat winasis, / Wasana wosing jiwangga, / Melok tanpa aling-aling, / Kang ngalingi kalingling, / Wenganing rasa tumlawung, / Keksi saliring jaman, / Angelangut tanpa tepi, / Yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

(Yang sudah waspada lakunya/patrapnya, / menghayati ayat/aturan ilmu kawicaksanan (ngelmu kang nyata), / Akhirnya inti pribadinya (Dhiri Pribadinya), / terlihat nyata tanpa penghalang, / Yang menghalang akan tersingkir, / Terbukalah rasa sayup-sayup sampai, / Tampaklah segala keadaan, / ngelangut sekali, / Itulah yang disebut bertapa tapaknya Hyang)

 

Di sini Mangkunegara IV menjelaskan tentang kondisi alam semadhi. Dan hal ini lebih tepatnya jika kamu merasakan sendiri, ndhuk, apa makna kalimat rasa tumlawung, keksi saliring jaman dan angelangut tanpa tepi … Keadaan itu sangatlah sulit digambarkan, namun bisa dirasakan. Bapak rasa, kalimat2 dari pupuh di atas sudah cukup menjelaskan keadaan alam semadhi itu, namun sekali lagi, lebih jelasnya, alami sendiri hal tersebut di alam semadhi. Bagaimana, ndhuk ?

Putrinya : Iya, bapak. Aku juga sudah mulai belajar semadhi koq, bapak, meski belum mengalami keadaan itu …

Bapak : Yang penting pokoknya aja nduweni penganggep, pengarep-arep lsp yg pernah bapak ajarkan itu, dan juga jangan lupa tata, titi, teliti, telaten nganti atul. Alam pasti akan membantumu untuk mencapai ke sana, ndhuk …

Putrinya : Iya, bapak …

Bapak : Baiklah. Ini yang selanjutnya, ndhuk …

 

31) Mangkono janma utama, / Tuman tumanem ing sepi, / Ing saben rikala mangsa, / Masah amemasuh budhi, / Laire anetepi, / Ing reh kasatriyanipun, / Susila anor raga, / Wignya met tyasing sesami, / Yeku aran wong barek berag agama.

(Begitulah manusia utama, / Gemar membiasakan diri berada dalam keheningan, / Pada setiap saat, / mengasah budhi / Lahirnya pun juga di tetepi/ dengan kekesatriyaan, / Bertindak baik, rendah hati, / pandai bergaul, memikat hati sesama, / Itulah yang dikatakan sebagai orang yang menghayati agama).

32) Ing jaman mengko pan ora, / Arahe para taruni, / Yen antuk tuduh kang nyata, / Nora pisan den lakoni, / Banjur njujurken kapti, / Kakekne arsa winuruk, / Ngendelken gurunira, / Panditane praja sidik, / Tur wus manggon pamucunge mring makripat.

(Di zaman sekarang tidak demikian, / Sikap para orang muda, / bila mendapat petunjuk yang nyata, / tidak pernah dilakukan, / Malah menuruti kehendak hatinya sendiri, / Kakeknya pun malah di ajari, / Dengan mengandalkan gurunya, / seorang pendeta negara yang pandai, / Dan juga sudah menguasai ilmu makripat).

 

Pupuh yg ke 31 Mangkunegara IV menegaskan ; Begitulah manusia yang utama. Batinnya ngudi kapandhitan, sedangkan lahirnya juga tetap di tetepi kasatriyannya, bukannya malah tidak perduli dengan urusan kenegaraan maupun lingkungannya. Contohlah Panembahan Senapati ini, beliau seorang Raja, meski beliau ngudi ngelmu kang nyata, namun beliau juga tidak meninggalkan tugas-tugasnya sebagai seorang Raja, lahiriahnya tetap di tetepi kekesatriyaannya …

Namun tidak demikian dengan anak muda jaman sekarang. Malah kementhus, belum apa-apa sudah menganggap leluhurnya keliru, kafir, hingga merasa perlu mengajari agar tidak kafir dengan mengandalkan gurunya, nabinya yang pandai …

Putrinya : Hehehe … Iya, bapak …

Bapak : Ya, wis. Arep ngaso sik pa priye ?

Putrinya : Di lanjut sjlah bapak, mumpung libur. Hehehe …

Dan lagi, yg pocung ini kan gak terlalu sulit dipahami. Kayaknya semakin menegaskan pupuh-pupuh sebelumnya saja ya, bapak ?!

Bapak : Iya, ndhuk … Baiklah, ini Pocung nya …

 

POCUNG

 

33) Ngelmu iku, / Kalakone kanthi laku, / Lekase lawan kas, / Tegese kas nyantosani, / Setya budya pangekese dur angkara.

(Ilmu itu, / Bisa terwujud hanya jika dijalani, / Dimulainya dengan kemauan, / Kemauan itulah yang menyentosakan/ Setia thd budi adalah penghancur nafsu angkara).

34) Angkara gung, / Neng angga anggung gumulung, / Gegolonganira, / Triloka lekere kongsi, / Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Nafsu angkara yang besar, / senantiasa berkumpul di dalam diri, / hingga menguasai triloka, / Bila dibiarkan akan berkembang menjadi halangan).

35) Beda lamun kang wus sengsem reh ngasamun, / Semune ngaksama, / Sasamane bangsa sisip, / Sarwa sareh saking mardi martatama.

(Sangat berbeda dengan yang sudah gandrung pada hal-hal kerohanian, / Tampak selalu mengampuni, / segala kesalahan sesama, / Bersikap sabar karena berusaha berbudi baik).

36) Taman limut, / Durgameng tyas kang weh limput, / Kerem ing karamat, / Karana karoban ing sih, / Sihing sukma ngrebda saardi gengira.

(Dalam keadaan sepi/ kejahatan yang menguasai hati, / akhirnya tenggelam dalam rahmat, / karena dikalahkan oleh cinta kasih, / Cinta kasih sukma berkembang hingga segunung besarnya).

37) Yeku patut tinulad tulad tinurut, / Sapituduhira, / Aja kaya jaman mangkin, / Keh pra mudha mundhi dhiri rapal makna.

(Itulah teladan yang pantas diteladani, / Sebatas pengetahuan dan kemampuanmu, / Jangan seperti zaman sekarang, / banyak anak muda mengagungkan rapal dan mantra).

38) Durung pecus kesusu kaselak besus, / Amaknani rapal, / Kaya sayid weton Mesir, / Pendhak pendhak angendhak gunaning janma.

(Belum pandai, tergesa-gesa ingin berlagak, / Mengartikan rapal, / seperti sayid lulusan Mesir, / Setiap saat meremehkan orang lain).

39) Kang kadyeku, / Kalebu wong ngaku-aku, / Akale alangka, / Elok Jawane denmohi, / Paksa langkah ngungkah met kawruh ing Mekah.

(Yang seperti itu, / tergolong orang yang mengaku-aku, / Pandangannya tidak masuk akal, / Anehnya, tidak menyukai kejawaannya, / Memaksa diri melangkah mencari pengetahuan di Mekah).

40) Nora weruh, / rosing rasa kang rinuruh, / Lumeketing angga, / Anggere padha marsudi, / Kana kene kaanane nora beda.

(Tidak tahu, / inti rasa yang dicari, / sesungguhnya melekat pada dhiri, / Asal semua mau berusaha, / Di sana atau di sini keadaannya tidak berbeda).

41) Uger lugu, / den ta mrih pralebdeng kalbu, / Yen kabul kabuka, / Ing drajad kajating urip, / Kaya kang wus winahya sekar srinata.

(Asal lugu, / dalam hal mencari terangnya kalbu, / Bila terkabul, terbukalah, / Di dalam derajad keinginan hidup, / seperti yang telah dituturkan dalam tembang sinom itu).

42) Basa ngelmu, / Mupakate lan panemu, / Pasahe lan tapa, / Yen satriya tanah Jawi, / Kunakuna kang ginilut tripakara.

(Yang namanya ilmu, / masih bisa di logikakan / Tajamnya (jika dilambari) dengan bertapa, / Jika satria Jawa, / Sejak dulu yang digeluti adalah tiga hal).

43) Lila lamun kelangan nora gegetun, / Trima yen ketaman, / Sakserik sameng dumadi, / Tri legawa nalangsa srah ing Bathara.

(Rela bila kehilangan, tak kecewa, / Menerima dengan sabar bila disakiti, / oleh orang lain yang iri hati, / Tiga: ikhlas, menyerah pasrah kepada Tuhan).

44) Bathara gung, / inguger graning jajantung, / Jenek Hyang Wisesa, / Sana pasenedan suci, /Nora kaya si mudha mudhar angkara.

(Yang Mahabesar, / Bersemayam di dalam jantung / Yang Mahakuasa kerasan jika tinggal di tempat peristirahatan yang suci, / Tak seperti ulah si muda yang menuruti angkara).

45) Nora uwus, / Kareme anguwus-uwus, / Uwose tan ana, / Mung janjine muring-muring, / Kaya buta buteng betah nganiaya.

(Tiada henti, / kesukaannya mencaci maki, / Tiada isinya, / Hanya asal marah-marah, / Seperti raksasa mudah naik darah dan menganiaya).

46) Sakeh luput, / ing angga tansah linimput, / Linimpet ing sabda, / Narka tan ana udani, / Lumuh ala ardane ginawa gada.

(Segala kesalahan, / yang ada pada dirinya ditutupi, / Diputarbalikkan dalam perkataan, / Mengira tak ada yang mengetahuinya, / Tidak mau disebut jelek (salah), sifat angkaranya digunakan sebagai pemukul).

47) Durung punjul, / ing kawruh kaselak jujul, / Kaseselan hawa, / Cupet kapepetan pamrih, / Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

(Belum pandai, / dalam ilmu tetapi tergesa-gesa ingin dianggap pandai, / Disusupi hawa nafsu, / Ilmunya kurang, terhalang pamrih, / Mustahillah menginginkan manunggal dengan Yang Mahakuasa).

 

Mudheng, ndhuk ?

Putrinya : Iya, bapak … Baiklah kalau begitu, bapak, aku istirahat dulu ya bapak. Gambuhnya jangan lama-lama lho …

Bapak : Yaaa … Ya, sudah, ngaso kana



(BERSAMBUNG)

TULISAN INI SUDAH PERNAH SAYA MUAT DI AKUN FB SAYA TANGGAL 01 DESEMBER 2010, PUKUL 07.29

  1. Lestari
    13 Februari 2011 pukul 4:12 pm

    sebagai org jawa asli sy sangat suka dan ingin mendalami kwruh2/filsafat jawa seperti ini yg memang sudah sejak dulu saya rindukan, bahkan apabila mungkin juga menjembar2kan kawruh dan ajaran jawa ini kpd org2 lain. namun mohon tanya/pandangan Bapak, bagaimana dengan org dr suku lain (non Jawa) dan menuduh sbg ajaran Jawanisasi

    • 15 Februari 2011 pukul 6:15 am

      Tks sdh bersedia singgah. Maaf, baru bisa balas.
      Prinsipnya sebenarnya masing2 suku punya ajaran leluhur sendiri. Dan dari bbrp ajaran leluhur suku lain yang saya kenal, prinsipnya sama, hny dalam bahasa yg berbeda. Seperti ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur batak, NTT dlsb … Jd sebenarnya, tidak perlu ada tuduhan Javanisasi ataupun Batakisasi, Sundaisasi dlsb, krn para leluhur menyarakan hal yg sama, meski dalam bahasa yg berbeda …
      Rahayu …

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar