Beranda > Falsafah Jawa > BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN V

BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN V

Bapak : Ini pupuh yang berikutnya, ndhuk ;

 

11) Iku kaki takokena, / Marang para sarjana kang martapi / Mring tapaking tepa tulus, / Kawawa nahen hawa, / Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu / Tan mesti neng janma wredha / Tuwin mudha sudra kaki

(Tanyakanlah, nak, / Kepada para sarjana yang bertapa / terhadap jejaknya ketulusan, / Mampu menahan nafsu. / Dan ketahuilah bahwa menuntut ilmu itu sejatinya / Tak harus selalu kepada orang-orang tua / Yang muda pun jelata (bisa juga), nak)

12) Sapantuk wahyuning Allah, / Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, / Bangkit mikat reh mangukut, / Kukutaning jiwangga, / Yen mengkono kena sinebut wong sepuh, / Lire sepuh sepi hawa, / Awas roroning atunggil.

(Siapa yang menerima wahyu Tuhan, / Dan kemudian dapat mencerna serta dapat menguasai ilmu / Bisa dan mampu ngukuti (menguasai)  kesempurnaan ilmu, / Ngukuti dirinya sendiri. / Orang yang demikian itu pantas disebut ‘orang tua’, / Setidaknya dia orang yang tidak dikuasai nafsu, / Mampu memahami dwitunggal atau dualitas)

 

Pupuh ke sebelas ini menjawab pertanyaanmu dulu.

Yaitu, tanyakanlah kepada para sarjana kang martapi, Sarjana, itu adalah orang yang sudah tutug pengetahuannya. Dan syarat itupun masih belumlah cukup, masih di tambahi dengan kang martapi, yang bertapa. Bertapa dalam hal apa ? Bertapa mencari tapaking tepa tulus, bertapa nggoleki galihing kangkung, susuhing angin, nggoleki poking bathin … Ya sarjana yang selalu laku semadhi itu.

Kalau Cuma bertanya pada seorang sarjana, sarjana itu banyak. Banyak orang yang sudah tutug atau tuntas menyelesaikan pengetahuannya ttg ketuhanan. Namun tidak banyak yang mengamalkan/menjalani/atau nglakonipengetahuannya tersebut. Sarjana2 tsb tahu betul teorinya dan bisa menerangkan kepadamu ttg pengetahuan tsb. Oleh karenanya, Sri Mangkunegara IV menegaskan, tanyakan kepada para sarjana kang martapi mring tapaking tepa tulus, karena hanya orang2 yang demikianlah yang mengerti betul akan ngelmu kang nyata itu. Dan orang2 yg dimaksud, itu tidak tergantung dari usia serta status/kedudukan.

Pupuh yang ke dua belas ini menegaskan pupuh yang sebelumnya, yaitu orang yang menerima wahyu Tuhan, orang yang mampu mengendalikan diri, yang mampu menguasai serta ngukuti dirinya sendiri, mengalahkan dirinya sendiri, yang tidak terjebak dalam dualitas, karena memahami bahwa dualitas itu adalah dua sisi dari mata uang yang sama …

Dan yang namanya wahyu itu bukan menjadi monopoli suatu bangsa, tetapi setiap orang di setiap bangsa berhak untuk menerima wahyu tersebut. Tergantung dari kemauan dan kemampuan orang itu sendiri. Kalau kita mau dan mampu, kitapun bisa menerima wahyu Tuhan.

Leluhur2 orang Jawa ini banyak yang sudah sering menerima wahyu, hanya para leluhur itu orangnya tidak mau umuk, tidak mau pamer, apalagi ngaku-aku ! Tidak !

Bapak rasa, sekarang kamu sudah mulai mengerti, meski belum sepenuhnya, kenapa para leluhur kita bersikap seperti itu setelah memahami pupuh2 sebelumnya … Benar begitu, ndhuk ?

Putrinya : Iya, bapaaak …

Bapak : Nah, kalau begitu, ini yang selanjutnya …

 

13) Tan samar pamoring Suksma, / Sinuksmaya winahya ing ngasepi, / Sinimpen telenging kalbu, / Pambukaning warana, / Tarlen saking liyep layaping aluyup, / Pindha pesating sumpena, / Sumusuping rasa jati.

(Tidak khawatir  akan Suksma (Tuhan), / Diresapi dalam keheningan, / Disimpan (diendapkan) dalam lubuk hati, / Yang menjadi pembukanya tirai / tidak lain adalah keadaan antara sadar dan tak sadar, / Bagaikan mimpi, / masuknya sang rasa yang sejati).

14) Sejatine kang mangkana, / Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi, / Bali alaming ngasuwung, / Tan karem karameyan, / Ingkang sipat wisesa winisesa wus, / Mulih mula mulanira, / Mulane wong anom sami.

(Sejatinya (orang) yang demikian itu, / Sudah mendapat anugerah Tuhan, / Kembali ke alam kekosongan, / Tidak tenggelam dalam keduniawian, / Yang bersifat menguasai sudah terkuasai, / Kembali ke asal mula, / Maka, wahai orang muda sekalian …)

 

Di sinilah jawaban dari pertanyaanmu terdahulu tentang mikani rasa. Sampai di sini, rasamu akan menjadi lebih lembut dari sebelumnya. Eloknya, proses ini saling berkait. Kamu bisa mencapai ini dalam semadhimu  jika berbudi pekerti luhurdalam keseharianmu, sebaliknya, jika kamu sudah mencapai proses ini, rasa mu pun jadi semakin halus dan lembut. Jadi ke dua hal tersebut saling berkait.

Ini adalah bagian dari proses semadhi. Sampai di liyep layaping aluyup, berarti kamu sudah mulai memasuki gerbang,  jika kamu asah terus, ulang dan ulang terus sampai atul, kamu akan bisa mencapai lebih jauh lagi. Dengan catatan dalam proses liyep layaping aluyup ini dan selanjutnya, kamu tidak boleh ketiduran, seperti yang bapak jelaskan dalam catatan bapak ttg semadhi dulu …

Namun begitu, meski baru masuk gerbang, kita sudah mendapat anugrah darinya. Dan berhati-hatilah, jangan menyepelekan anugrah ini, karena tanpa melalui gerbang ini kamu tidak akan bisa melangkah lebih jauh lagi …

Utk kalimat Mulane wong anom sami, itu menunjukkan supaya kita mencontoh ke tembang Sinom sesudah ini …

Sudah jelas, ndhuk ?

Putrinya : Mengerti, bapak … Aaah, betapa beruntungnya aku memiliki orang tua seperti bapak ini, sehingga aku bisa belajar dan memahami tentang Serat Wedhatama ini …

Bapak : Kalimat itu kurang tepat, ndhuk. Banggalah dan berbahagialah karena terlahir di tanah Jawa ini, yang dipenuhi oleh leluhur2 yang memiliki ajaran yang sangat adiluhung, oleh karenanya, Sri Mangkunegara IV mengatakan ;Puruitaa kang patut, Lan traping angganira, bergurulah yang tepat dan sesuai dengan dirimu, sesuai dengan tempat dimana kamu dilahirkan. Karena ajaran dari bangsa lain, belum tentu cocok dan sesuai dengan budaya kita, dengan tanah kelahiran kita ini …

Andaikata kamu bukan putri bapakpun, kamu tetap akan bisa belajar Serat Wedhatama ini. Entah dari buku, entah dari orang lain.

Bukankah dari awalnya kamu sendiri yang berkeinginan untuk mempelajarinya ? Pada umumnya, orang yang ingin tahu akan sesuatu, pasti dia akan berusaha untuk mencari tahu ttg sesuatu tersebut …

Putrinya : Iya, iyaaa … Hehehehe …

Oh iya, bapak, Mangkunegara IV ini agamanya apa sih, bapak ?

Bapak : Kenapa kamu bertanya seperti itu, ndhuk ?

Putrinya : Ada yang bilang, apa yang di ajarkan Mangkunegara IV ini adalah merupakan ajaran Agama tertentu …..

Bapak : Kamu akan segera tahu begitu memahami seluruh isi Serat Wedhatama ini, ndhuk … Mangkunegara IV memang waktu kecil mempelajari banyak ilmu pengetahuan, termasuk ilmu2 agama yang tengah berkembang saat itu. Setiap calon Raja, mmg harus seperti itu. Dia dipersiapkan secara matang dalam segala hal. Karena kelak, sebagai seorang Raja, dia harus mumpuni dalam segala hal …

Kamu sendiri juga tahu, ndhuk, bapak juga mempelajari bbrp agama yg di akui di Indonesia ini, tp seperti yang juga kamu ketahui, bapak tdk menjadi pemeluk salah satu dari agama2 tersebut …

Jadi belum tentu orang mempelajari suatu agama itu lantas dia juga memeluk agama tersebut. Belum tentu. Bisa saja orang tsb hanya ingin mempelajarinya saja.

Namun sekali lagi, Kamu akan segera tahu begitu memahami seluruh isi Serat Wedhatama ini.

Sinomnya besok pagi saja to, ndhuk ?

Putrinya : Iya, bapak. Matur nuwun wejangannya, bapak, besok pagi kalau aku belum bangun, tolong di bangunin kayak kemarin itu ya, bapak. Hehehe …

Bapak : Ya … Ya wis, kana ndang mapan turu



(BERSAMBUNG)

TULISAN INI SUDAH PERNAH SAYA MUAT DI AKUN FB SAYA, TANGGAL 05 NOPEMBER 2010, PUKUL 05.08

  1. Purbo
    4 Agustus 2011 pukul 11:04 am

    Maturnuhun

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar