Beranda > Ngelmu Jawa > SAKTI TANPA AJI-AJI

SAKTI TANPA AJI-AJI

MIJIL

Dedalane, guna lawan sekti
Kudu andhap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur

 

Tembang di atas adalah tembang yang pertama kali ku dengar. Iya, pertama kali ku dengar dan tembang tersebut di dendangkan oleh suwargi Eyang putriku. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan belum mengenal apa itu yang namanya samadhi, Sembahyang Jawa.

Seperti layaknya anak kecil yang pada umumnya butuh ‘iming-iming’, butuh permen, agar mau menuruti kata orang tua, Eyang putri ku mendendangkan tembang tersebut sambil menjelaskan makna dari tembang tersebut. Setelah selesai mendendangkan serta menjelaskan maknanya, beliau menceritakan kepadaku tentang almarhum suaminya, Eyang kakungku suwargi, juga putra pertamanya, pakdhe ku. Eyang putri menghendaki agar aku bisa meneladani kehidupan mereka, agar aku bisa menjadi manusia yang utama.

Sebelumnya mohon maaf, di sini aku bukannya mau membangga-banggakan Pakdhe serta Eyang kakungku, namun seyogyanya lah seperti itu dalam mendidik seorang putra, memberikan contoh-contoh yang nyata, yang ada di sekeliling kita, mencontoh leluhur-leluhur kita yang nyata-nyata terbukti labuh labetnya, sehingga anak tersebut kelak dapat menghargai miliknya sendiri, menghargai leluhurnya sendiri.

Eyang kakungku suwargi, menurut Eyang putri adalah seorang Jawa tulen, seorang yang Sekti tanpa aji-aji, idu geni sabda dadi, weruh sadurunge winarah, menang tanpa ngasorake, nglurug tanpa bala, sugih tanpa bandha dan lain sebagainya. Hal tersebut menurun kepada putra pertama Eyangku, yaitu pakdhe ku itu tadi, melalui sebuah proses yang cukup panjang dan tidak mudah. Meskipun ada juga pribadi/tokoh yang memang sudah ‘dari sono’nya hebat (hebat sejak lahir), namun hal tersebut diperoleh pakdhe ku melalui sebuah proses yang cukup panjang. Di sini aku akan menceritakan proses tersebut dalam sebuah artikel ini, siapa tahu ada yang berminat dan mudah-mudahan bermanfaat.

Hal-hal yang dibutuhkan agar kita bisa menjadi pribadi seperti yang sekilas di gambarkan di atas adalah ;

1.    Gentur Tapane

Tentang bertapa, ada sebagian kalangan yang masih menafsirkan kata tapa ini dalam arti yang sempit. Tidak sedikit orang yang menafsirkan bahwa bertapa itu melulu tentang samadhi di sebuah tempat yang sepi, yang angker, di dalam gua, di puncak gunung, dan lain sebagainya. Sesungguhnya arti bertapa bukan hanya itu. Bertapa bisa juga di rumah sambil melakukan aktifitas sehari-hari, sambil tetap bekerja ataupun sekolah. Pokoknya tetap melakukan segala aktifitas seperti biasanya. Itulah yang disebut dengan Tapa ngrame.

Nah, jadi meskipun kita tidak bisa nepi di gunung-gunung, gua-gua ataupun di hutan, bukan berarti kita tidak bisa bertapa. Kita tetap bisa bertapa, yaitu dengan tapa ngrame tersebut.

2.    Berbudi Pekerti Luhur

Antara point satu dengan point dua ini saling berkaitan. Kehidupan sehari-hari yang selalu berbudi pekerti luhur, akan menunjang proses samadhi kita, demikian sebaliknya, semakin tinggi pencapaian alam samadhi kita, maka perilaku kita sehari-hari akan menjadi semakin halus, lemah lembut, dan semakin berbudi pekerti luhur.

Ilmu budi pekerti luhur ini salah satunya bisa kita ketahui dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV

3.    Sembahyanglah Setiap Menit, Setiap Detik Kita Ingat KepadaNYA

Kata Sembahyangpun juga telah mengalami penyempitan makna, seperti halnya dengan kata Tapa di point satu tadi, hingga setiap ada orang yang mengatakan ; ‘aku arep sembahyang’ lalu di konotasikan orang tersebut akan melakukan kegiatan keagamaan agama tertentu. Padahal belum tentu begitu.

Sembahyang, itu berasal dari kata Sembah dan Hyang, yang artinya Menyembah kepada Hyang. Hyang itu ya Hyang Kang Murbeng Dumadi, Hyang Kang Tanpa Tanpa, Hyang Kang Hana Tan Hana, Hyang Widhi, Hyang Maha Kuasa, Hyang Maha Pengasih dan Penyayang, dan masih banyak lagi sebutanNYA.

Sembahyang yang dimaksudkan di sini adalah samadhi itu sendiri. Tentang samadhi, bisa di baca pada artikel sebelumnya.

 

Nah, dengan melakukan tiga point di atas, jika kanugrahan, kita akan bisa menjadi pribadi-pribadi seperti yang aku sampaikan di awal-awal artikel tadi.

Lalu apa kaitannya ke tiga hal tersebut dengan tembang di atas tadi ?

Tembang di atas berisi tentang ilmu budi pekerti luhur. Tembang di atas mempunyai makna ; Jika ingin menjadi Sakti (tanpa aji-aji), itu haruslah andhap asor (rendah hati), mau mengalah, jika di dukani (dimarahi) oleh orang tua harus tunduk, jangan mbanggel, ngeyel, ngedrel dlsb. Bapang den simpangi itu memiliki arti bahwa jika ada penghalang, dalam bentuk apapun, sebisa mungkin dihindari, jangan malah di tantang/di langgar/di tabrak. Ibaratnya kita tengah berjalan, di depan sana ada seseorang yang menghadang perjalanan kita, seyogyanya kita mencari jalan lain agar tidak bertemu/berkonfrontasi dengan penghadang tersebut. Ewadene kita yang sudah berusaha mencari jalan lain untuk menghindar kok masih tetap di kejar dan di hadang/dihalang-halangi, kemudian penghadang tersebut tanpa sengaja tersenggol dan jatuh ke jurang (karena kita sudah tidak ada jalan lain lagi), ya apa boleh buat, itu bukan kesalahan kita.

Ana catur mungkur, ini mengandung makna jangan suka ngrasani orang lain. Yang namanya ngrasani itu sudah pasti membicarakan kejelekan orang, bukan membicarakan kebaikan orang lain. Jadi jika kebetulan ada yang tengah ngrasani orang lain, seyogyanya jangan ikut-ikut. Bila perlu menghindar, namun jangan terlalu mencolok karena hal tersebut bisa membuat tersinggung mereka yang tengah ngrasani tadi. Pakai pasemon atau alasan lain sehingga bisa karyenaktyasing sasama.

Rahayu sagung tumitah kang dumadi,

  1. 5 Januari 2014 pukul 6:17 pm

    ajaran iki cocok karo atiku, pengen meguru aku

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar